Jakarta – mediaaku.com – Dosen sekaligus Pakar Ilmu Hukum Agraria Universitas Trisakti, Doktor Endang Pandamdari, mengungkapkan kasus sengketa tanah di Indonesia lebih banyak disebabkan tanah yang dikuasai tidak mempunyai landasan hukum yang kuat dan tidak mempunyai Sertifikat Hak Milik (SHM).
Kepada mediaaku.com, Endang selanjutnya mengatakan, Jika tanah sudah memiliki sertifikat hak milik maka kepemilikan tanah tersebut akan dilindungi hukum. Sebaliknya mereka yang tak mempunyai sertifikat hak atas tanah dan mengajukan sengketa, maka biasanya mereka itu hanya tergiur pada harga nilai tanah.
Endang menuturkan, sejak reformasi agraria tahun1960 yang melahirkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria, sudah jelas soal penetapan jenis hak tanah, seperti hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai.
“Demikian juga tanah konversi hak barat yang merupakan peninggalan zaman Belanda, dimana sejak September 1980 mereka yang merasa memiliki tanah hak barat itu diberi kesempatan melaporkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk diberi hak oleh negara. Jika tidak dilakukan pelaporan maka tanah hak barat tersebut akan menjadi tanah negara,” kata Endang.
Selain itu secara teori kepemilikan tanah ada sistem publikasi negatif dan sistem publikasi positif. “Saya lebih condong mengikuti sistem publikasi negatif, karena sistem ini masih bisa dilakukan perubahan data kepemilikan bila terdapat kekeliruan, tapi pada sistem publikasi positif maka kecil kemungkinan untuk perubahan data sehingga bisa menimbulkan permasalahan lain,” jelasnya.
Endang menyarankan, untuk menghindari sengketa, contoh seperti tanah adat dan turun temurun yang belum mempunyai sertifikat harus segera didaftarkan pada kantor pertanahan secara legal dan mempunyai kekuatan hukum, agar negara bisa melindunginya.
Endang juga mengatakan mereka yang berhak atas tanah yang belum mempunyai sertifikat, sebaiknya menghindari penjualan yang tak resmi seperti perjanjian dibawah tangan, karena hal itu bisa ditolak kantor pertanahan jika didaftarkan.
Menyinggung adanya mafia tanah, menurut Endang, untuk menghilangkan adanya mafia tanah maka sudah seharusnya pemerintah, BPN, dan kepemilikan tanah menerapkan fungsi pengawasan dan koordinasi. Mafia tanah akan berkurang jika tanah tersebut sudah ada bukti kepemilikan.
Pada bagian lain saat ditanya soal program sertifikat on line, Endang menilai belum saatnya diterapkan saat ini. Pertama karena belum optimalnya kesiapan BPN. Kedua, kepemilikan tanah harus membutuhkan bukti fisik dilapangan. “Yang baru berjalan saat ini di BPN adalah pendaftaran tanah secara on line, itu sudah berjalan baik saat ini” cetusnya.