MEDIAAKU.COM – Dalam dunia pendidikan, sering kali anak diarahkan untuk menghafal pelajaran. Mereka diminta mengingat rumus, tanggal bersejarah, atau definisi panjang agar bisa menjawab soal ujian.
Namun, seperti yang ditegaskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam bukunya Pendidikan, tujuan utama belajar bukan sekadar mengisi kepala anak dengan hafalan, melainkan menumbuhkan budi pekerti dan pemahaman yang mendalam.
Anak yang hanya menghafal cepat lupa, sementara anak yang memahami akan mampu menggunakan pengetahuan itu dalam kehidupan nyata.
Jerome Bruner dalam “The Process of Education” menyebutkan bahwa pembelajaran seharusnya membantu anak menemukan makna melalui pengalaman.
Misalnya, ketika belajar matematika, anak tidak cukup hanya mengingat rumus luas segitiga. Mereka perlu diajak melihat segitiga secara nyata, memotong kertas, atau menggambar sehingga rumus tersebut lahir dari pemahaman, bukan sekadar hafalan. Dengan cara itu, pengetahuan akan melekat lebih lama karena anak merasa terlibat.
Orang tua dan guru memiliki peran besar dalam menciptakan suasana belajar yang mendukung pemahaman. Anak perlu diberi kesempatan bertanya, mencoba, bahkan salah. Dari kesalahan itulah lahir pemikiran kritis.
Dengan dialog, anak belajar menghubungkan teori dengan kehidupan sehari-hari, sehingga pelajaran terasa lebih nyata dan bermanfaat.
Mengajarkan pemahaman juga berarti menumbuhkan rasa ingin tahu. Ketika anak melihat bahwa belajar bukan beban, melainkan jalan untuk mengenal dunia,Dengan begitu, sekolah bukan lagi tempat menghafal, melainkan ruang untuk berpikir dan berkreasi.
Anak yang memahami pelajaran akan tumbuh menjadi pribadi yang mandiri, kreatif, serta bijak dalam mengambil keputusan. Pada akhirnya, mengajarkan anak memahami lebih berharga daripada sekadar menghafal, karena pemahaman adalah bekal sepanjang hayat.(*/janu)

