MEDIAAKU.COM – Hikikomori adalah istilah dari Jepang yang merujuk pada kondisi seseorang yang memilih menarik diri dari kehidupan sosial dalam jangka waktu lama, bahkan hingga bertahun-tahun.
Mereka biasanya mengurung diri di kamar, menghindari interaksi dengan keluarga, teman, dan masyarakat. Fenomena ini mulai dikenal luas sejak tahun 1990-an dan hingga kini masih menjadi perhatian para peneliti, psikolog, dan pemerhati budaya.
Menurut penjelasan Tamaki Saitō dalam bukunya “Shakaiteki Hikikomori: Owaranai Shishunki (1998)”, hikikomori bukan sekadar malas bersosialisasi, melainkan sebuah masalah kompleks yang berkaitan dengan tekanan sosial, ekspektasi pendidikan, dan perubahan gaya hidup modern di Jepang.
Budaya Jepang yang menekankan kesuksesan akademik, ketaatan, serta harmoni sosial sering kali menimbulkan beban berat bagi anak muda. Mereka yang merasa gagal memenuhi standar tersebut bisa memilih jalan ekstrem yaitu mundur dari masyarakat.
Dalam buku “The Anatomy of Dependence” karya Takeo Doi, dijelaskan bahwa masyarakat Jepang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan konsep ketergantungan.
Hal ini memperburuk kondisi ketika seseorang gagal mandiri, sehingga memilih untuk menarik diri total. Hikikomori pun muncul sebagai reaksi diam-diam terhadap kerasnya tekanan hidup.
Namun, fenomena ini tidak hanya terbatas di Jepang. Beberapa penelitian kontemporer menunjukkan bahwa gejala serupa mulai terlihat di negara lain, termasuk Korea Selatan, Italia, bahkan Amerika.
Globalisasi, teknologi digital, dan meningkatnya isolasi sosial ikut berperan memperluas fenomena ini. Internet dan gim daring sering menjadi pelarian utama, memberikan kenyamanan semu tanpa tuntutan interaksi nyata.
Meski begitu, kita tidak bisa hanya memandang hikikomori sebagai hal negatif. Ia adalah cermin bahwa masyarakat modern memiliki sisi gelap berupa kesepian dan tekanan psikologis yang kerap diabaikan.
Hikikomori mengingatkan kita bahwa kebutuhan dasar manusia bukan hanya makanan dan tempat tinggal, melainkan juga kasih sayang, pengakuan, dan ruang untuk tumbuh tanpa rasa takut gagal.
Pada akhirnya budaya ini mengajarkan bahwa kesuksesan bukan hanya soal memenuhi standar sosial, tetapi juga tentang keberanian untuk tetap menjadi manusia yang terhubung dengan sesama.(*/janu)

