MEDIAAKU.COM – Wakil Menteri Hukum, Eddy Hiariej, menegaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional membawa semangat reintegrasi sosial. KUHP yang mulai berlaku pada 2 Januari 2026 ini dirancang untuk membuka ruang bagi pelaku tindak pidana agar dapat memperbaiki diri dan kembali diterima di tengah masyarakat.
Melansir dari laman Kemenkum, Jumat (26/12/2025) Dalam pertemuannya bersama Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Eddy menjelaskan bahwa pendekatan baru ini menitikberatkan pada upaya pemulihan sosial, bukan semata-mata penghukuman. Pelaku kejahatan diberikan kesempatan untuk bertobat, menjalani proses perbaikan diri, dan tetap memiliki peran positif di lingkungan sosialnya.
Menurut Eddy, KUHP Nasional akan mengubah wajah sistem pemidanaan di Indonesia agar lebih berorientasi pada kemanusiaan. Penjara tidak lagi menjadi pilihan utama dalam menjatuhkan hukuman, terutama untuk tindak pidana ringan. Langkah ini diambil untuk menghindari stigma sosial yang kerap melekat pada mantan narapidana, yang sering kali menyulitkan mereka untuk kembali bersosialisasi.
Pidana penjara, lanjut Eddy, tetap diberlakukan untuk kejahatan berat dengan ancaman hukuman panjang, seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Namun, bagi pelanggaran dengan ancaman pidana di bawah lima tahun, hakim dapat menjatuhkan pidana pengawasan. Sementara itu, pelaku tindak pidana dengan ancaman hukuman tidak lebih dari tiga tahun dimungkinkan menjalani pidana kerja sosial.
Pidana kerja sosial disesuaikan dengan kemampuan pelaku, misalnya dengan memanfaatkan keahlian tertentu yang dimiliki. Meski demikian, pelaksanaannya dibatasi agar tidak mengganggu kesempatan pelaku untuk tetap mencari nafkah.
Eddy menegaskan bahwa KUHP Nasional tidak lagi memandang hukum pidana sebagai alat pembalasan. Sebaliknya, sistem ini mengedepankan keadilan korektif untuk memperbaiki pelaku, keadilan restoratif untuk memulihkan korban, serta keadilan rehabilitatif bagi kedua belah pihak.
Dalam KUHP baru, sanksi tidak selalu berbentuk pidana, tetapi juga dapat berupa tindakan. Hakim memiliki kewenangan menjatuhkan pidana dan tindakan secara bersamaan, atau salah satunya.
Ia juga menilai bahwa sistem pemidanaan Indonesia selama ini tertinggal jauh dibandingkan negara-negara maju. Di beberapa negara Eropa dan Amerika Utara, telah dikenal skema pemidanaan seperti semi detention dan weekend detention, yang memungkinkan terpidana tetap bekerja sambil menjalani hukuman secara terbatas di penjara.
Sebagai bentuk penyesuaian, KUHP Nasional menghadirkan alternatif pemidanaan berupa pidana pengawasan, kerja sosial, dan denda. Eddy menegaskan bahwa perubahan ini bukan untuk melemahkan penegakan hukum, melainkan untuk menghadirkan sistem hukum pidana yang lebih adil, proporsional, dan berperikemanusiaan.(*/Stephany)

