MEDIAAKU.COM – Tembok Berlin bukan sekadar bangunan beton ia menjadi simbol dari perpecahan ideologi, manusia, dan harapan. Setelah Perang Dunia II, Jerman terbagi antara Blok Barat yang dipimpin oleh negara-negara demokratis dan Blok Timur yang dikontrol Uni Soviet.
Kota Berlin yang berada di wilayah timur pun ikut terbagi: Berlin Barat dan Berlin Timur. Untuk menghentikan arus orang-orang dari timur yang pindah ke barat, pemerintah Jerman Timur membangun tembok penghalang pada 13 Agustus 1961.
Sejarawan Frederick Taylor dalam bukunya “The Berlin Wall: 13 August 1961 – 9 November 1989” menjelaskan bagaimana tekanan politik, migrasi massal, dan kekhawatiran rezim komunis mendorong pembangunan tembok.
Tembok itu disertai pagar kawat, menara penjaga, dan sistem keamanan ketat. Lebih dari sekadar penghalang fisik, ia juga menjadi penghalang bagi hubungan keluarga, pertemanan, dan impian.
Banyak orang mencoba melarikan diri melalui celah, terowongan, atau bahkan lewat jalur bawah tanah. Namun sejumlah korban tewas terkena peluru penjaga atau kecelakaan mengingatkan bahwa tembok itu mahal sekali harganya dalam nyawa manusia.
Pada 9 November 1989, dalam suasana yang genting tapi penuh harapan, rezim Jerman Timur memutuskan untuk membuka perbatasan. Ribuan warga timur dan barat berkumpul, merobohkan dinding dengan palu kecil atau tang, dan merangkul satu sama lain. Itu menjadi momen penting menuju reunifikasi Jerman dan runtuhnya rezim komunis Eropa Timur.
Mary Elise Sarotte dalam “The Collapse: The Accidental Opening of the Berlin Wall” menyajikan bagaimana tekanan publik, kebijakan politik global, dan kesalahan administratif ikut mempercepat kejatuhan tembok.
Dari sejarah itu kita dapat mengambil pelajaran tembok apapun bentuknya jika dibangun untuk memisahkan manusia hanya akan menyuburkan luka dan kebencian karena persatuan manusia lahir dari empati, dialog, dan keinginan untuk bersama, bukan dari pemagaran yang memecah.(*/janu)

