Friday, April 25, 2025
HomePemilu dan Pilkada 2024MK Gelar Sidang Uji Materil Pasal Perbuatan Tercela Mantan Koruptor

MK Gelar Sidang Uji Materil Pasal Perbuatan Tercela Mantan Koruptor

Ralian Jawalsen, SH, MH (Foto: Mediaaku.com)

MEDIAAKU.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) segera melaksanakan sidang pertama perihal pengujian materil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, menjadi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NegaraRITahun1945.

Dimana pada Pasal 7 ayat (2) huruf (i) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, calon walikota dan wakil walikota, harus memenuhi persyaratan tidak pernah melakukan perbuatan tercela (Korupsi) yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian.

Menurut Pemohon Ralian Jawalsen, SH, MH, bahwa kalimat tidak pernah melakukan perbuatan tercela adalah termasuk perbuatan calon kepala daerah yang terindikasi korupsi atau pernah melakukan korupsi.

Selanjutnya lanjut Pemohon, Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan Indonesia adalah Negara Hukum. Karena itu hanya Lembaga Yudikatif MK lah yang mempunyai kewenangan meninjau para calon kepala daerah yang terindikasi korupsi, dan/atau pernah korupsi adalah mereka melakukan perbuatan tercela atau bukan.

Pelaksanaan sidang Pengujian Materil di MK ini telah diberi Nomor 81/PUU-XXII/2024, diajukan Ralian Jawalsen, selanjutnya disebut sebagai Pemohon.

Pada Akta Registrasi Perkara Konstitusi Nomor 81/PUU/PAN.MK/ARPK/07/2024, Mahkamah Konstitusi RI telah menyatakan Permohonan Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, sudah dicatat dalam Akta Registrasi Perkara Konstitusi, yakni pada hari Rabu, Tanggal 17 Juli 2024 pukul 09.00 WIB. Dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK).

MK juga menyatakan berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 Tentang Tata Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK2/2021) Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam e-BRPK. Demikian akta ini dibuat dan ditandatangani panitera.

Sebelumnya,RalianJawalsen,SH, MHyangjuga Ketua PusatBantuan Hukum Masyarakat (PBHM), pada Rabu lalu (10/7/2024), mendatangi kantor Mahkamah Konstitusi (MK) untuk pengajuan permohonan Judicial Review (JR) terkait Pasal 7 ayat (2) huruf (i) Undang-Udang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945).

Selain itu, pada Pasal 7 ayat (2) Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 

huruf i disebutkan “tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”.

Lebih lanjut Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menurut Ralian Jawalsen, disebutkan bahwa segala warga bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 

“Sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka saya mengingatkan agar MK dapat mengoreksi Kembali Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan diperbolehkannya mantan narapidana mengikuti pemilihan Kepala Daerah apabila memenuhi persyaratan sangat paradoks dengan Pasal 7 ayat (2) huruf i  yang menyebutkan, “tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian”, maka jika mantan narapidana koruptor meminta catatan kepolisian dan keterangan pengadilan  bertentangan dengan putusan tersebut,” tandas Ralian Jawalsen.

Menurutnya, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan: Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

“Bila dikatakan demokratis harus dipahami bahwa tidak sekedar dipilih oleh masyarakat, akan tetapi bahwa para calon kepala daerah itu bersih, dan memiliki amanat dalam mewujudkan kesejahteraaan masyarakat. Jelas bahwa pemberantasan korupsi adalah amanat reformasi yang harus terus disuarakan, dan tidak boleh diabakan. Karena kebangkrutan Orde Baru dan tumbangnya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden harus menjadi pembelajaran kita sebagai warga negara,” ujar mantan aktivis mahasiswa tahun 1998 ini.

Ralian mengatakan, bahwa Indonesia adalah negara hukum karena itu harus adanya supremasi, dan kepastian hukum dalam undang-undang yang berlaku, sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Menurut dia, salah satu perbuatan tercela adalah korupsi yang disebut kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang dalam penanganannya tidak bisa dianggap biasa, dan korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju masyarakat adil dan makmur sehinga para pelaku korupsi, dan narapidana koruptor jika ingin maju dalam Pilkada harus dibuktikan dengan catatan kepolisian, dan surat pengadilan.

Alumnus Pasca Sarjana Universitas Kristen Indonesia (UKI) itu menegaskan bahwa  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 42/PUU-XIII/2015 yang menyatakan diperbolehkannya mantan narapidana mengikuti pemilihan Kepala Daerah apabila memenuhi persyaratan sangat paradoks dengan Pasal 7 ayat (2) huruf i  yang menyebutkan, tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian.

“Apakah polisi dan kehakiman bisa merekomendasikan bahwa perbuatan korupsi yang dilakukan mantan kepala daerah yang melakukan atau pernah melakukan korupsi ditahan lalu membuat surat keterangan catatan kelakuan baik bisa dikatakan tidak melakukan perbuatan tercela,” tegasnya.

Ia mengatakan, tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, akan tetapi juga pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat.

“Tidak jaminan mantan narapidana koruptor yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak akan mengulangi perbutannya lagi.  Karena kejahatan korupsi yang dilakukan bukan kerena khilaf, sebaliknya dilakukan dengan cara-cara sistematis, terorganisir, dan terencana. Akibat korupsi terhambat pembangunan dan minim atau kurangnya pelayanan publik yang memuaskan,” ujarnya di MK. (*/hvs)

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Terpopular