MEDIAAKU.COM – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tengah menggodok Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati sebagai upaya menggantikan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1964. Langkah ini diambil untuk memperbarui aturan lama sekaligus memastikan adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi para terpidana mati.
Melansir dari laman Kemenkum, Jumat (10/10/2025) Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, menjelaskan bahwa RUU ini disusun berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, dengan tujuan utama memberikan jaminan perlindungan hukum bagi mereka yang dijatuhi hukuman mati. Pernyataan tersebut disampaikan dalam kegiatan Uji Publik RUU di Kantor Kemenkumham.
Menurut Eddy, RUU ini telah resmi masuk dalam daftar prioritas legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025, sebagaimana tercantum dalam Keputusan DPR RI Nomor 23/DPR RI/I/2025-2026. Setelah proses pembahasan dengan kementerian dan lembaga terkait selesai, RUU ini akan segera diajukan kepada Presiden bersama dengan rancangan undang-undang terkait penyesuaian pidana.
Eddy juga menguraikan sejumlah perbedaan antara RUU yang baru dengan peraturan lama. Salah satu pembaruannya adalah pengaturan lebih rinci mengenai hak dan kewajiban narapidana yang dijatuhi pidana mati.
Dalam RUU tersebut, terpidana memiliki hak untuk bebas dari perlakuan yang kejam atau penggunaan alat pengekangan berlebihan, memperoleh tempat tinggal yang layak, serta tetap dapat berkomunikasi dengan keluarga setelah penetapan eksekusi. Mereka juga diberi kesempatan untuk menentukan lokasi pelaksanaan hukuman dan penguburannya.
Selain itu, pelaksanaan pidana mati hanya dapat dilakukan apabila terpidana tidak menunjukkan perilaku yang layak selama masa percobaan, tidak memiliki harapan untuk diperbaiki, telah menolak atau ditolak permohonan grasinya, serta berada dalam kondisi fisik yang sehat.
Lebih lanjut, Eddy membuka wacana mengenai kemungkinan metode eksekusi lain di luar tembak mati, seperti menggunakan suntikan mematikan (lethal injection) atau kursi listrik.
“Hal ini masih bisa dikaji secara ilmiah untuk melihat cara mana yang paling cepat dan minim penderitaan,” ujarnya.
Melalui pembahasan RUU ini, pemerintah berharap dapat menghadirkan aturan yang lebih manusiawi dan berkeadilan, sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia serta perkembangan hukum modern di Indonesia.(*/Stephany)