Saturday, October 25, 2025
HomeBeritaTradisi Ngerebong di Bali Diwarnai Aksi Menggunakan Benda Tajam

Tradisi Ngerebong di Bali Diwarnai Aksi Menggunakan Benda Tajam

Liputan Jurnalis mediaaku.com, Putu Dea Agestya Putri
Bali – mediaaku.com – Tradisi Ngerebong yang dilaksanakan Minggu,26 Juni 2022 kemarin diselenggarakan dengan suasana yang sedikit mencekam. Ratusan orang meramaikan untuk menyaksikan tradisi tersebut.
Beberapa warga saat turun dari tangga menuju bagian dalam pura kesurupan dan dibopong oleh dua orang pendamping. Warga yang hadir dalam tradisi tersebut, saat memasuki areal pura harus mengelilingi balai pertemuan dengan putaran melawan arah jarum jam atau yang disebut dengan istilah Ngidet Bhuana sebanyak 3 kali putaran.
Setelah itu warga yang kesurupan akan  dibariskan. Mereka menangis dan berteriak histeris. Gamelan terus dibunyikan,semakin cepat tempo gamelan itu,semakin histeris teriakan mereka.
Para pendamping lainnya membawa keris dan sarung keris. Ketika putaran sampai di depan tangga pintu masuk utama pura mereka yang kerauhan utamanya yang lelaki berteriak lalu meminta keris. Setelah keris diserahkan mereka kemudian menusuk (Ngunying) bagian dada maupun leher mereka sekuat-kuatnya.
Bendesa Adat Kesiman I Ketut Wisna mengatakan, beberapa pemangku mengalami kerauhan. Dikatakannya, krama atau pamedek yang datang tak hanya dari Kesiman saja, namun juga ada beberapa dari luar seperti dari Pemogan maupun wilayah Sanur.
 “Kami di Desa Adat Kesiman terdiri dari 32 banjar adat dan juga ada beberapa krama dari luar Kesiman,” kata Ketut Wisma
Dalam hal pengamanan pihaknya juga menerjunkan 200 pecalang. Budayawan yang juga sepuh Desa Adat Kesiman I Gede Anom Ranuara mengatakan Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan suksesnya atau kejayaan raja-raja pada zamannya yang dikemas dengan sistem religi untuk memperkuat dan mengeksistensi keberhasilan raja saat itu.
“Karena dilihat dari Pura Petilan ini adalah center tempat upacara besar di Kesiman. Ini ritual atau pengilen atau prosesi dari sejarah kejayaan itu. Dimana Raja Kesiman sempat melaksanakan ekspansi ke Sasak, Lombok,” ungkapnya.
Tradisi ini dilakukan dengan tiga tahap yakni penyerangan, penggempuran, dan keberhasilan. Untuk keberhasilan penggempuran ada beberapa ritual di Pura Uluwatu yang dilakukan raja dan ada beberapa pengikutnya untuk dapat kesuksesan.
Pertama raja memohon ke Pura Uluwatu dan dianugerahi keris yang bernama Ki Cekle. Dengan menggunakan keris itu Sasak pun ditaklukkan. 
“Sasak tak mau mengalah dan meminta diadakan adu jangkrik. Raja menerima dan menggunakan jangkrik betulan tapi di sana menggunakan jangkrik siluman sehingga sempat kalah dan kembali ke Uluwatu biar menang adu jangkrik,” ungkap Anom Ranuara.
Saat itu konon ada sapta sesuhunan di Pura Uluwatu yang meminta raja ngereh lemah atau ngereh siang hari. Raja menyanggupi dan setelah itu raja diminta mengambil pemicu (pengilitan) jangkrik di Pura Muaya Jimbaran, mencari makanannya di Pura Dalem Kesiman berupa jepun putih, dan jangkrik berupa jangkrik kuning diambil di Padanggalak.
“Jangkirik diadu di sana dan berubah jadi Banaspati dan mengalahkan jangkrik siluman dan terbakar. Sebelum diadu ada perjanjian kalau Kesiman kalah akan diambil Sasak dan jika Kesiman menang, Bugis dan Sasak akan dibawa ke Kesiman,” ungkap Anom Ranuara.
Ekspansi tersebut terjadi sekitar tahun 1860 dan sejak saat itu dilaksanakan upacara ngerebong yang merupakan upacara syukuran dan awalnya dilakukan di Puri Kesiman sebelum dipindah ke Pura Petilan Pengerebongan.
Dan berdasarkan catatan Belanda, era tahun itu kendali politik Bali dan Lombok memang berada di Kesiman. Akan tetapi saat adanya Puputan Badung, pelaksanaan ngerebong sempat berhenti beberapa waktu.
Tahun 1937 ngerebong kembali digelar dan dilakukan di Pura Petilan karena saat itu pura ini selesai dibangun. Pada pelaksanaannya tahun 1937, prosesi ini dikemas dalam tiga tahapan yang tidak bisa terpisahkan.
Pertama saat Umanis Galungan yang disebut ngebek, kedua saat Pahing Kuningan yang disebut dengan ritual mapag, dan yang ketiga yakni ngerebong. Pada 2018 lalu tradisi ini masuk dalam warisan budaya tak benda.
Tradisi yang dilaksanakan setiap 6 bulan sekali dalam kalender Bali ini merupakan tradisi kuno langka yang masih dilestarikan hingga saat ini.
RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Terpopular