Manado – mediaaku.com – Ratusan warga asal Nusa Utara di Desa Kali Kecamatan Pineleng, Minahasa, Sabtu (11/2) menggelar upacara tulude. Upacara ini selain dihadiri masyarakat Nusa Utara di Pineleng, juga dihadiri para tokoh Nusa Utara yang datang dari berbagai wilayah di Sulawesi Utara.
Seperti biasanya tulude di Pineleng kali ini adalah menggelar doa ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa di awal tahun baru. Dengan memotong kue tamo dan diisi tarian masamper dan empat wayer.
Menurut Budayawan sekaligus tokoh masyarakat Nusa Utara yang menjadi tuan rumah tulude, Sem Makaluas, mengatakan tulude adalah tradisi adat budaya Nusa Utara sejak dahulu kala yang harus dipertahankan terus.
” Tulude adalah lambang kerukunan dan lambang persatuan dan kesatuan masyarakat Sulawesi Utara. Sebab dalam tulude bukan saja masyarakat Nusa Utara yang ikut terlibat, tapi juga dari semua golongan, ada dari masyarakat asal Minahasa, Bolmong, dan juga dari penganut Kristen, Islam, Khatolik maupun Konghucu,” ungkap Makaluas.
Sementara Pembina sanggar tulude di Sulawesi Utara, Profesor Kawilarang Alex Masengi, mengharapkan keunikan upacara tulude bisa diangkat terus keluar untuk mendatangkan devisa bagi daerah dan bisa mendatangkan kesejahteraan bagi mereka sebagai pemeran tarian tulude dan juga pemeran pelaku upacara tulude.
Berbicara sejarah, makna dan arti tulude, sudah dilakukan secara turun temurun dan dilestarikan sejak abad ke-16 oleh masyarakat Nusa Utara yang meliputi Sangihe, Talaud dan Sitaro. Dan memiliki tujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas segala berkat terhadap Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa).
Tulude juga menjadi simbol kerukunan, persatuan, serta kebersamaan masyarakat. Selama upacara berlangsung, masyarakat akan berkumpul untuk makan bersama. Upacara ini telah dilakukan warga Sangihe, Talaud, dan Sitaro selama bertahun-tahun.
Dalam bahasa Sangihe, tulude berasal dari kata Suhude yang artinya tolak. Tulude dimaknai sebagai penolakan terhadap tahun yang lama atau menolak meratapi kehidupan di tahun sebelumnya dan kesiapan untuk menerima tahun baru.
Secara harafiah, tulude juga diartikan meluncurkan atau melepaskan sesuatu dari ketinggian. Kemudian, maknanya mengalami perluasan menjadi melepaskan, meluncurkan, mendorong, atau menolak.
Awalnya, upacara ini dilakukan tepat pada setiap penghujung tahun yaitu 31 Desember. Namun, seiring berjalannya waktu, pelaksanaannya diubah hingga 31 Januari di tahun baru.
Sementara kue tamo yang dipersembahkan pada upacara tulude sendiri dibuat sebagai persembahan untuk sang maha pencipta.
Kue tamo merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan, gula merah, minyak kelapa, bubuk kayu manis, pepaya, kelapa muda, dan pisang raja. Setelah matang, kue tamo akan dibentuk kerucut dan dihiasi dengan telur, ketupat, dan buah-buahan.
Upacara tulude selalu juga dimeriahkan oleh penampilan tarian tradisional Nusa Utara seperti tari gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer serta nyanyian masamper.

