MEDIAAKU.COM – Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri kembali memaparkan temuan yang mengkhawatirkan terkait keterlibatan anak dalam jaringan terorisme.
Melansir dari BeritaSatu, Rabu (19/11/2025) Sepanjang tahun 2025, lebih dari 110 anak dan pelajar dari 23 provinsi diketahui telah direkrut oleh kelompok teroris melalui berbagai platform digital.
Temuan tersebut belum lama ini disampaikan Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, dalam konferensi pers di Bareskrim Polri, Jakarta. Ia menjelaskan bahwa kasus ini menunjukkan bagaimana kelompok teroris semakin gencar memanfaatkan ruang digital untuk menjangkau target rentan, yaitu anak dan remaja.
Hasil penyelidikan mengungkap bahwa pelaku perekrutan memanfaatkan berbagai kanal digital, mulai dari media sosial, aplikasi pesan instan, hingga gim online. Cara ini dinilai efektif karena mudah menembus kehidupan sehari-hari anak dan remaja tanpa menimbulkan kecurigaan dari orang tua.
Menurut Densus 88, interaksi di dunia maya membuka peluang bagi perekrut untuk membangun kedekatan, menanamkan ideologi, lalu mengarahkan korban pada aktivitas terlarang.
Selama proses penyelidikan yang berlangsung sekitar satu tahun terakhir, Densus 88 telah menangkap lima orang yang diduga kuat menjadi otak perekrutan anak di sejumlah daerah. Para tersangka ditangkap dalam periode akhir 2024 hingga November 2025, dan saat ini sedang menjalani proses hukum.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Trunoyudo Wisnu Andiko, mengungkapkan identitas para pelaku dengan inisial: FW alias YT (47), LM (23), PP atau BMS (37), MSPO (18) dan JJS alias BS (19).
Kelima orang ini diduga berperan aktif dalam menggaet anak-anak melalui platform digital dan mengarahkan mereka ke jaringan teroris.
Kasus ini menjadi alarm bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat untuk lebih waspada terhadap aktivitas digital anak. Polri menegaskan bahwa upaya pemberantasan terorisme tidak hanya bergantung pada penegakan hukum semata, tetapi juga membutuhkan kewaspadaan kolektif untuk mencegah anak-anak terseret ke dalam bahaya ideologi ekstrem.
Dengan semakin masifnya aktivitas teroris di ruang digital, pengawasan dan literasi digital menjadi kunci untuk melindungi generasi muda dari ancaman radikalisasi.(*/Stephany)

