MEDIAAKU.COM – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas (presidential threshold) minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, sesuai Undang-Undang (UU) Pemilihan Umum (Pemilu) Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 222, ditentang banyak pihak, karena keputusan MK tersebut dianggap bersifat politis dan inkonstitusional.
Praktisi Hukum dan Advokat Dolfie Rompas, SH, MH, menegaskan keputusan MK tersebut bersifat inkonstitusional, politis dan tidak konsisten, karena MK tak konsisten dalam keputusan sebelumnya yang pernah menolak berkali-kali dalam uji materil terhadap pasal 222 UU Pemilu.
“Saya kira keputusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden oleh MK sangat politis, dan MK tidak konsisten dengan UU MK sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,” tegas Dolfie.
“Atau lebih keras lagi keputusan MK itu inkonstitusional,” kata Dolfie, di Jakarta, Kamis (2/1/2025), saat dihubungi media ini, untuk dimintai pendapat soal keputusan MK yang menghapus ambang batas pencalonan presiden.
Alasannya menurut Dolfie, karena pada keputusan itu, MK mengabaikan Undang-Undang MK sendiri, khususnya pada Pasal 51, 56 dan 60.
Pasal 51 ayat 1: Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Ayat 3: Dalam permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.
Pasal 56 ayat 1: Dalam hal Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa pemohon dan/atau permohonannya tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 dan pasal 51, amar putusan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Ayat 5: Dalam hal undang-undang dimaksud tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, baik mengenai pembentukan maupun materinya sebagian atau keseluruhan, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Pasal 60: Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
“Jadi jelas dalam pasal 60 UU MK, bahwa undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali,” ujarnya.
Karena menurut Dolfie Rompas, penolakan terhadap uji materi pasal 222 UU Pemilu, sudah dilakukan sejak tahun 2017 dan sudah ada penolakannya berkali-kali oleh MK.
“Nah yang menjadi pertanyaan, kenapa dilakukan uji kembali padahal sudah ditolak,” jelas Dolfie.
Dijelaskan Dolfie, soal Pasal 60, pengujian uji materil sudah dilakukan sebanyak 33 kali diuji MK yang dilakukan sejak 2017, dan ditolak terus. Sehingga karena pasalnya sudah ditolak, maka permohonan tak bisa diajukan kembali.
“Jadi MK mengabaikan tiga pasal UU MK tersebut yakni 51, 56 dan 60. Karena itu saya berpendapat bahwa keputusan penghapusan ambang batas, bukan keputusan hukum murni lagi, tapi sudah bersifat politis. Dan ini pembangkangan terhadap UU MK sendiri,” tegasnya.
Oleh sebab itu, Dolfie mengusulkan, sebaiknya, jabatan hakim MK tidak terlalu lama, dari 5 tahun cukup 3 tahun saja, karena jika terlalu lama, maka keputusan yang sudah ditolak, bisa berpeluang diuji kembali karena memiliki cukup waktu untuk diuji kembali.
Sebelumnya pada keputusan MK, Kamis (2/1/2025), MK mengabulkan gugatan yang dilayangkan Enika Maya Oktavia dalam perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024. MK menyatakan norma Pasal 222 dalam UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan yang dibacakan Ketua MK, Suhartoyo.
Wakil Ketua MK Saldi Isra, pada sidang pembacaan putusan penghapusan ambang batas, mengatakan, membiarkan atau mempertahankan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu berpeluang atau berpotensi terhalangnya pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat dengan menyediakan banyak pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi, yaitu menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan demokrasi,” ungkap Saldi. (hvs)