MEDIAAKU.COM – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM bersama Badan Legislasi (Baleg) DPR RI serta DPD RI telah menyepakati sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Salah satu yang menjadi sorotan adalah RUU tentang Perampasan Aset, yang masuk ke dalam daftar 52 RUU prioritas tahun 2025, ditambah dengan lima RUU kumulatif terbuka.
Melansir dari laman Kemenkum, Kamis (25/9/2025) rapat pengambilan keputusan juga menetapkan daftar Prolegnas RUU Prioritas tahun 2026 sebanyak 67 RUU dengan tambahan lima kumulatif terbuka, serta total Prolegnas RUU Perubahan periode 2025–2029 mencapai 198 RUU.
RUU tentang Perampasan Aset, bersama beberapa regulasi lain seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), akan tetap menjadi agenda utama di tahun 2025. Jika pembahasan belum rampung, maka otomatis akan dilanjutkan pada 2026.
Eddy, selaku perwakilan pemerintah dalam rapat di Baleg DPR RI belum lama ini, menegaskan bahwa Prolegnas Prioritas 2025 akan dievaluasi kembali pada akhir tahun 2025 atau awal 2026.
Wakil Ketua Baleg DPR RI, Martin Manurung, menambahkan bahwa penentuan RUU prioritas 2026 didasarkan pada beberapa indikator. Di antaranya adalah RUU yang sudah berada pada tahap pembicaraan tingkat I, RUU yang menunggu Surat Presiden (Surpres), hingga RUU yang telah melewati tahap harmonisasi dan finalisasi konsep di Baleg.
Selain itu, RUU dalam daftar tunggu maupun usulan baru yang memenuhi urgensi tertentu juga dipertimbangkan untuk masuk dalam prioritas legislasi.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM memberi perhatian khusus pada sejumlah RUU yang ditargetkan selesai tahun 2025, seperti RUU tentang perubahan KUHAP, RUU Penyesuaian Ketentuan Pidana, serta RUU Pelaksanaan Pidana Mati. Hal ini dinilai krusial karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan resmi berlaku pada 2 Januari 2026.
Eddy mengingatkan, jika RUU KUHAP tidak segera disahkan, maka penegakan hukum berpotensi kehilangan legitimasi. “Sebagai contoh, para tahanan bisa saja bebas karena dasar hukum penahanannya masih merujuk pada KUHP lama. Jika itu terjadi, aparat penegak hukum tidak lagi memiliki landasan untuk melakukan tindakan paksa,” jelasnya.(*/Stephany)