Jakarta – mediaaku.com – Fenomena resesi seks makin parah di Singapura. Hal ini diakibatkan tingginya biaya hidup di Singapura.
Akibat tingginya biaya hidup menyebabkan banyak orang dinegara tersebut ogah menambah anggota keluarga. Para analis mengatakan angka kelahiran hidup di Singapura anjlok sebesar 7,9%.
Data Departemen Statistik Singapura menunjukkan wanita berusia antara 25 dan 29 tahun kini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melahirkan dibandingkan wanita berusia antara 35 hingga 39 tahun.
Direktur pelaksana Ranstad Asia-Pasifik, Jaya Dass seperti dilansir CNBC International, bahwa daya tarik ingin memiliki anak sebenarnya berkurang secara signifikan karena kehidupan telah semakin matang dan berubah.
Pada tahun 2022, EIU menempatkan Singapura sebagai kota termahal untuk ditinggali. Tak heran jika memiliki rumah bersama menjadi tantangan bagi pasangan muda.
Menurut data CEIC, harga rumah di negara tersebut terus meningkat pesat, meningkat sebesar 7,5% year to year pada Juni 2023.
Apartemen perumahan umum, yang dikenal secara lokal sebagai flat HDB, juga memiliki permintaan yang tinggi tetapi pasokannya tidak mencukupi.
Mu Zheng, asisten profesor di departemen sosiologi dan antropologi di National University of Singapore, mengatakan hal ini hanyalah sebagian dari masalahnya, karena masih banyak biaya lain yang terkait dengan membesarkan anak di Singapura.
“Ada perasaan ketidakstabilan yang menyeret orang semakin jauh dari memiliki anak,” kata Zheng.
Tingginya biaya hidup di Singapura menyebabkan semakin banyaknya pasangan yang memiliki dua pendapatan (income) dan tidak memiliki anak.
Hal ini juga disebabkan oleh perubahan pola pikir dan semakin banyak pasangan yang bersedia mendahulukan karier mereka daripada menikah dan memiliki anak.
“Setelah perempuan mempunyai anak, mereka akan melihat perlambatan dalam kemajuan karir mereka. Banyak dari mereka yang mengambil keputusan untuk menunggu sampai mereka merasa aman dan stabil dalam pekerjaannya sehingga tidak ada ancaman serius terhadap pendapatan mereka jika mereka mengambil cuti dari pekerjaan,” kata Tan Poh Lin, peneliti senior di Institute of Policy Studies, Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew.
Menanggapi fenomena ini, Pemerintah Singapura pun mengeluarkan kebijakan untuk memberikan insentif dan bonus untuk mendorong masyarakat memiliki anak.
Pasangan yang memiliki bayi akan menerima masing-masing SG$11.000 (Rp123 juta) untuk anak pertama dan kedua, dan SG$13.000 (Rp146 juta) untuk anak ketiga dan seterusnya. Bonus ini meningkat sebesar 30% hingga 37% dari sebelumnya.
Selain itu, cuti ayah yang dibayar pemerintah ditingkatkan dua kali lipat, meningkat dari dua menjadi empat minggu bagi ayah dari bayi yang lahir pada tahun 2024.
Namun Wen Wei Tan, analis di Economist Intelligence Unit (EIU), mengatakan kebijakan bonus untuk mengatasi masalah tersebut belum mampu menyelesaikan masalah.